Budget Traveling at Thailand : Wisata Belanja, Wisata Budaya dan Jatuh Cinta di Bangkok (part. 3)

Keesokan harinya, kami mengunjungi sungai Chao Praya. Kami berencana akan naik perahu menelusuri sungai ini. Untuk menuju sungai ini kami naik BTS skytrain jalur Saphan Taksin – National Stadium dan turun di stasiun Saphan Taksin. Stasiun ini adalah stasiun yang terletak di paling ujung jalur Saphan Taksin – National Stadium dan langsung berada di tepi sunga Chao Praya. Ketika kami keluar dari Stasiun BTS Skytrain, kami langsung banyak paket wisata untuk menelusuri sungai ini. Paket wisata ini harganya agak mahal. Paket wisata ini sudah termasuk kapal, pemandu, dan tiket untuk masuk ke tempat-tempat pariwisata sepanjang Sungai Chao Praya. Namun karena keterbatasan dana dan kami memang ingin bebas dan flexibel akhirnya kami memilih tiket terusan.

Untuk menelusuri sungai ini kita bisa memilih banyak transportasi. Transportasi yang paling umum adalah shuttle boat. Sepanjang Sungai Chao Praya terdapat banyak dermaga-dermaga yang fungsinya sama dengan halte bus. Shuttle boat setiap harinya akan melewati dermaga-dermaga ini hingga pukul 5 sore. Transportasi lainnya adalah long tail boat. Long tail boat ini seperti boat ojek. Anda harus berdebat untuk menyepakati harga jika ingin pergi dari satu terminal ke terminal lain. Angkutan lainnya adalah kapal yang disediakan oleh biro perjalan untuk paket pariwisata seperti yang telah dijelaskan diatas. Tiket terusan yang kami beli adalah untuk shuttle boat. Tiket terusan artinya kami hanya membayar sekali diawal, dan kemudian kami bebas untuk naik turun boat ini hingga jam 5 sore. Kami memang menyediakan waktu seharian khusus untuk menelusuri sungai ini.

Long Tail Boat

Long Tail Boat

Boat Turis

Boat Turis

Sebuah cerita menyebutkan  seorang berkebangsaan Inggris bernama Anna diundang oleh Raja Rama IV untuk mengajar Bahasa Inggris Permaisuri Raja dan keluarganya. Ketika berada di Bangkok, Anna sangat terpesona dengan Sungai Chao Praya. Kesannya dengan sundai ini ia tulis dalam sebuah buku. Buku ini kemudian dinovelkan oleh Margaret Landon dengan judul Anna and the King of Siam. Novel inilah yang kemudian di-filmkan dengan judul yang sama.

Sungai Chao Praya dalam Bahasa Thai artinya “River of The King”. Sungai ini membentang membelah Kota Bangkok. Lebar Sungai ini sekitar dua puluh meter, kira-kira selebar sungai-sungai yang ada di Kalimantan. Sungai Chao Praya mengalir dari utara Thailand dan bermuara di Teluk Thailand. Sungai ini memilik panjang sekitar 300 Km.

Keberadaan sungai Chao Praya sangat vital bagi masyarakat Bangkok. Sungai Chao Praya selain sebagai sarana lalu lintas, sungai ini juga menjadi urat nadi kegiatan masyarakat sehari-hari di sana seperti irigasi dan pasar terapung. Sungai ini sangat sibuk, penuh dengan kapal-kapal yang lalu lalang, baik kapal pedagang, kapal pariwisata, kapal transportasi, kapal pesiar ataupun restoran terapung. Sungai ini memang telah menjadi sarana transportasi yang vital bagi masyarakat Bangkok sejak dahulu. Karena sungai ini,  orang barat sering menyebut Bangkok sebagai “Venesia dari Timur”. Oleh karena potensi inilah, pemerintah Thailand menyulap sungai ini menajadi objek pariwisata.

Pemandangan sungai Chao Praya

Pemandangan sungai Chao Praya

Pemandangan 2

Pemandangan 2

Pemandangan 3

Pemandangan 3

Setelah beberapa lama menunggu di dermaga, akhirnya sebuah shuttle boat datang. Kami dan banyak wisatawan yang kebanyakan berkulit putih satu persatu masuk ke kapal. Saat ini kapal penuh, bahkan banyak turis yang berdiri. Di salah satu dermaga kami turun. Menurut buku panduan, di dermaga ini terdapat China Town. China Town ternyata bukan sesuatu yang aneh dan menarik buat orang Indonesia. Sehari-hari kita pasti sudah sering melihat muka-muka oriental seperti ini. Yang menjadi perhatian saya hanyalah hiasan dan pernak-pernik berwarna merah khas orang Cina. Selain itu disini juga terdapat pasar yang menjual berbagai macam barang. Buat orang bule mungkin ini sesuatu yang menarik. Kamipun kembali ke dermaga dan naik shuttle boat.

Berikutnya kami berhenti di Dermaga Tha Tien. Di dermaga ini terdapat Wat Pho. Wat dalam bahasa Thai artinya kuil, jadi Wat Pho artinya Kuil Pho. Di sepanjang sungai ini banyak terdapat Kuil-Kuil Budha yang tidak akan cukup dikunjungi hanya dalam satu hari. Di Thailand sendiri terdapat 400 Kuil Budha. Keunikan kuil-kuil di Thailand adalah gaya arsitekturnya. Kuil-kuil Budha ini umumnya megah, tampil mewah dan anggun dengan lapisan emas yangberkilau pada pagodanya, Atapnya juga biasanya berbentuk agak mencuat, khas arsitektur Thailand.

Dalam kuil ini terdapat The Famous Reclining Budha : patung Budha yang sedang tidur menghadap ke kanan tanggannya menyanggah kepalanya. Patung ini memiliki tinggi sekitar 15 meter dan panjang sekitar 50 meter., bukan main besarnya. Saya sampain merinding ketika melihatnya. Patung terlihat sangat mewah dengan lapisan emasnya. Kaki dan matanyapun dilapisi kerang mutiara. Luar biasa, betapa kayaknya Sang Budha. Dinding kuil yang dilapisi oleh lukisan handmade menambah kesan mewah dari Sang Budha.  Rasanyaa saya pengen mengerik sedikit lapisan emasnya. Lumayan juga itu kalau di jual. Dari kuil ini, kami melanjutkan jalan-jalan kami ke kuil-kuil sekitarnya. Lama-lama kami bosan juga karena yang namanya kuil tidak berbeda, hanya ada Patung Budha di dalamnya.

The Reclining Budha 1

The Reclining Budha 1

The Reclining Budha 2

The Reclining Budha 2

Panas terik siang itu membuat kami berhenti dulu sejenak untuk mencari makan siang. Mencari makan siang di daerah sini agak sulit, pasalnya tidak ada makanan halal. Restoran-restoran fastfood yang familiar juga tidak ada. Penjual makanan yang banyak adalah kaki lima. Kami tidak berani untuk makan disana, di sini rawan penjual babi. Akhirnya kami memilih restoran yang paling “jelas”. Restoran ini adalah restoran yang menjual masakan Thailand. Setidaknya ini restoran, bukan kaki lima, ada gedungnya, ada daftar menunya. Walaupun harganya cukup mahal, tapi yang paling penting, pelayannya bisa Bahasa Inggris. Biar aman akhirnya saya memesan Tom Yam Seafood. Ini Tom Yam asli Thailand, bukan Tom Yam tiruan seperti di restoran-restoran Indonesia. Rasnaya luar biasa mantap. Perpaduan bumbu yang pedas, asam, dan asin begitu sempurna memanjakan lidah saya. Kalau kata Bondan Wisata Kuliner “Maknyuuuuus”.

Selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan kami ke Grand Palace. Grang Palace letaknya tidak jauh dari Wat Pho, hanya bersebrangan jalan/ Kata orang, jalan-jalan ke Kota Bangkok belum lengkap jika belum ke Grand Palace. Pada zaman dahulu tempat ini digunakan sebagai tempat tinggal raja dan sebagai tempat tinggal raja. Sejak abad ke 20 tempat ini berubah menjadi museum dan tempat pariwisata. Grand Palace ini adalah salah satu land mark kota Bangkok. Foto Grand Palace ini yang sering kita lihat di brosur dan iklan pariwisata Thailand.

Kompleks Grand Palace dikelilingi tempok putih yang tinggi. Kompleks Grand Palace ini lumayan luas, saya duga mungkin sekitar 20 hektar. Kompleks ini terdiri dari museum dan sebuah kuil sebagai rumah dari The Emerald Budha. Jika The Reclining Budha adalah pantung tidur Budha, maka The Emerald Budha adalah patung Budha sedang dalam posisi duduk bersila.

Untuk dapat memasuki komples ini, kita harus berpakaian sopan. Kita tidak diperbolehkan untuk memakai celana pendek, baju tidak berlengan, apalagi baju singlet. Jika kebetulan anda memakai baju yang tidak sesuai, maka di sini ada peminjaman celana dan selendang gratis. Menurut kabar yang kami terima, jika ingin ke Grand Palace, sebaiknya pagi-pagi, karena Raja Thailand akan standby di sana menyambut turis.

Kami tiba di Grand Palace sekitar pukul 3 sore. Tempat ini tutup sekitar pukul 4 sore. Walaupun tempat ini tutup sekitar satu jam lagi, tempat ini masih ramai dengan turis-turis. Waktu itu seperti biasa kami memakai setelan gembel dengan celana pendek. Dengan mendeposit uang 100 Bath per orang, kami meminjam celana panjang. Kami jadi mirip murid perguruan silat.

Kami di Kompleks Grand Palace

Kami di Kompleks Grand Palace

Di Wat Pho

Di Wat Pho

Foto di depan Budha

Foto di depan Budha

Siang itu Grand Palace benar-benar dipenuhi oleh turis. Antrian tiketnya saja sudah panjang. Untuk masuk ke kompleks Grand Palace ktia tidak perlu membayar apapun, namun untuk masuk ke museumnya, kita  perlu membayar tiket lagi. Tiba-tiba kami dilanda dilema. Tiket untuk masuk ke Grand Palace tergolong mahal, sementara kami baru saja kehilangan uang 1000 Bath. Terlebih lagi saat itu sudah sore, kami hanya punya waktu sekitar satu jam. Kabar yang kami terima juga lebih baik berkunjung ke sini pada pagi hari. Tapi jika tidak masuk ke museumnya, rasanya belum lengkap perjalanan kami ke Thaialnd. Akhirnya kami memilih jalan tengah, kami akan ke sini lagi pada pagi hari pada hari-hari terakhir kami di Thailand setelah kami menjelajah selatan, itupun jika masih ada uang sisa. Hari itu kami akhiri dengan pulang dari Grand Palace tanpa masuk ke dalamnya.

Keesokan paginya seperti biasa, kami sarapan pagi di hotel sekitar jam 10 pagi. Memang secara de jure, tidak ada perbedaan waktu antara Bangkok dan Jakarta, namun pada kenyataannya, waktu Bangkok telat sekitar satu jam dari Jakarta. Waktu yang kita pakai sehari-hari memang cuma kesepakatan manusia, waktu yang mutlak adalah waktu matahari. Sebagai contoh waktu zuhur adalah sekitar pukul 13.00. Toko-toko dan Mall pun buka pada pukul 10 pagi. Tapi anehnya jam mereka tutup sama dengan jam Indonesia. Ada yang tutup pukul 5 sore, ada pula yang tutup pukul 9 malam. Aktivitas juga berhenti sekitar pukul 9 malam, jadi waktu beraktivitas di Bangkok satu jam lebih sebentar dari pada di Jakarta. Seharusnya Jakarta bisa lebih maju dari Bangkok karena mempunyai kesempatan beraktivitas yang lebih lama.

Pagi itu kami disuguhi setungkup roti bakar, butter, selai nanas, teh anget dan sepiring buah semangka. Setiap hari menu sarapan tidak akan jauh berbeda, variasinya hanya di jenis selai dan buahnya. Kami makan di sebuah ruangan yang menyatu dengan lobi hostel. Ruangannnya tidak besar, hanya muat beberapa meja makan berukuran kecil. Pagi itu ruang makan sedang penuh dengan, jam 10 memang merupakan jam yang pas untuk makan.

Di pojok ruangan terlihat seorang kulit putih dengan badan yang tinggi tegap dan berkacama mata sedang duduk sendirian. Ia membawa tas carrier-nya, mungkin ia kan Check out hari ini. Di tas carriernya saya melihat tertempel emblem banyak negara : Thailand, New Zealand, Cina Turik dan negara kita Indoensia. Sepertinya ia membeli emblem bendera setiap negara yang dikunjunginya. Sepertinya ia seorang petualang sejati, bayangkan ia traveling seorang diri. Ia telah mengunjungi setidaknya 5 negara sendirian. Luar biasa.

Di belakang meja saya terdapat dua turis suami istri yang sudah agak tua. Dari bahasanya saya simpulkan mereka dari Jepang.  Di meja yang lain terdapat segerombolan anak muda Amerika. Dari hasil nguping saya, mereka baru setelah dari Thailand mereka akan pergi ke Malaysia.

Tepat di depan meja saya ada turis yang juga seorang diri. Tapi kali ini seorang wanita. Kawan, si perempuan ini parasnya benar-benar cantik. Rambutnya lurus namun agak berhelombang sedikti di sekitar bahu, warnanya hitam kepirang-pirangan, hidungnya mancung, kulitnya berwarna, tidak seperti orang bule umumnya. Tampangnya merupakan perpaduan sempurna antara muka barat dan muka oriental. Kalau boleh saya kasih gambaran, mukanya mirip dengan artis Jepang Maria Ozawa.  Saya tidak bisa memperkirakan ia orang mana, yang pasti ia adalah peranakan campuran. Setelan sweater biru langit dan celana jeans hitam melengkapi pesonanya. Saya benar-benar telah jatuh cinta ketika itu. Hebatnya ia juga seorang diri. Saya pikir perjalalan ini terlalu berbahaya untuk orang secantik dia. Tampak ketika itu ia sedang membolak-balik buku panduan perjalanan yang sama seperti kami. Ingin rasanya ketika itu saya mendatanginya dan mengajaknya ngobrol. Tapi apa mau dikata, saya hanya berani memandangnya dari jauh. Sungguh menyedihkan.

Hari itu agenda kami adalah mengunjungi Chatucack weekend market. Sesuai namanya, pasar ini hanya buka pada hari Sabtu dan Minggu. Untuk dapat ke pasar ini kita bisa naik BTS Skytrain jalur On Nut- Mo Chit dan turun di Stasiun Mo Chit atau kita bisa naik MRT dan turun di Stasiun Chatichack Park. Pasar ini memang khusus sebagai pasar wisata.

Pasar ini sangat luas, saya kira luasnya lebih dari 5 hektar. Pasarnya sendiri terdiri dari kompleks kios-kios kecil yang disusun secara berdempetan namun tetap rapih. Kios-kios tersebut dipisahkan dengan lorong kecil yang membentang di seluruh pasar. Jangan takut kepanasan untuk menjelajahi pasar ini karena atap menutup setiap lorong-lorong dan kios-kios tersebut.

Catuchack Market

Catuchack Market

Jika anda ingin mencari oleh-oleh pasar ini merupakan tempat yang tepat. Pasar ini menjual segala macam barang, mulai dari barang pernak-pernik, baju, kerajinan tangan, tas, hingga peralatan rumah tangga. Barang yang khas yang bisa anda beli di sini adalah Thai Silk. Saya tidak begitu mengerti apa spesialnya sutra Thailand ini jika dibandingkan dengan sutra-sutra lainnya. Yang jelas ini barang khas Thailand, semua turis mencarinya jika ke Thailand untuk oleh-oleh.  Barang khas lainnya adalah Pashmina. Sebenarnya Pashiman bukan asli dari Thailand, kalau tidak salah Pashmina awalnya berasal dari India. Namun entah kenapa pedangan-pedangan di sana selain selalu menawarkan Thai Silk, mereka juga selalu menawarkan Pashmina.

Suasan pasar dipenuhi oleh turis. Setelah saya perhatikan, turis-turis bule umumnya ke sini hanya untuk menikmati suasana. Jarang dari mereka yang belanja banyak barang untuk jadi oleh-oleh, tidak seperti orang Indonesia yang kadang membawa satu tas khusus untuk oleh-oleh. Ketika itu kami juga sebenarnya hanya ingin melihat-lihat dan survey oleh-oleh. Tapi pada akhirnya kami membeli juga beberapa oleh-oleh. Saya membeli sebuah baju kaos hitam yang bermotifkan khas Thailand. Saya sangat senang dengan baju ini. Sangat cool. Ini bukan untuk oleh-oleh, tapi buat saya sendiri. Satu hal, jika kita ingin berbelanja di sini, anda harus tahan untuk ngotot-ngototan harga.

Kami menghabiskan waktu di sana seharian. Pada malam harinya lagi-lagi ke pasar, tapi kali ini ke pasar malam. Objek Wisata di Bangkok memang kebanyakan jika tidak wisata budaya ya wisata belanja. Kami sudah mengunjungi banyak kuil kemaren, dan hari giliran pasar. Di Bangkok tersebar banyak pasar malam. Pada pukul 10 malam, banyak pasar malam kaget muncul. Akan tetapi pasar malam yang kami tuju ini adalah pasar malam yang sudah di lokalisasi, mirip seperti pasar Chatuchack, namun pasar ini buka hingga malam hari.

Pasar ini bernama Suan Lum Night Bazar. Letaknya di sebelah Lumpini Park. Untuk dapat ke sini kita bisa naik MRT dan turun di Lumphini Station. Pasar ini ditandai dengan adanya menara yang jika malam lampunya agak heboh dan bertuliskan “Suam Lum Night Bazar”. Pasar ini tidak jauh berbeda dengan Pasar Chatucack. Barang-barang yang dijual pun tidak jauh berbeda. Hanya saja di sini banyak terdapat cafe-cafe dan restoran bagus. Food court-nya juga besar lengkap dengan panggung dan live band show. Di food court ini juga ada satu counter yang melayani makanan halal, mereka menjual seperti kebab-kebaban.

Night Bazar

Night Bazar

Land Mark Suam Lum Night Bazar

Land Mark Suam Lum Night Bazar

Malam itu kami hanya jalan-jalan dan melihat-lihat. Kebetulan kami bertemu dengan rombongan Ibu-Ibu dari Aceh. Entah kenapa saya sangat senang jika bertemu orang Indonesia, mungkin karena memang dari pertama kami sampai di Thailand, kami tidak pernah bertemu orang Indonesia yang lainnya.

Di sebelah Suam Lum Night Bazar ini terdapat Stadium Muay Thai. Muay Thai adalah bela diri khas Thailand atau yang kita kenal dengan Thai Boxing. Pertandingan Muay Thai diadakan setiap malam, dari pukul 8 malam hingga tengah malam. Setiap hari diadakan 5 pertandingan. Sepertinya seru untuk menonton Muay Thai ini. Namun sekali lagi sayang, tiketnya sangat mahal.  Perjalanan kami masih panjang. Inti perjalanan kami juga bukan di Bangkok, melainkan ketika menyusur ke salatan. alhasil kami memilih untuk menunda niat kami menontont Muay Thai ini. Padahal kami sudah sangat bersemangat dan antusias  ingin menonton.

Stadion Muay Thai

Stadion Muay Thai

Setelah puas, kami akhirnya pulang ke Hostel. Kami harus isitirahat dengan baik karena besok kami akan memulai perjalanan kami ke selatan. Besok kami akan menuju Phuket. Sebenernya kami masih punya cerita di Bangkok. Kami di Bangkok pada 3 hari pertama dan 3 hari terakhir. Ini baru cerita di 3 hari pertama.  Untuk 3 hari yang terakhir akan saya sambung belakangam. Cerita pada tiga hari terakhir akan ada kisah lanjutan mengenai live show 😉

Bersambung…

———————–

Itinerary Budget

Tiket terusan shuttle boat : 150 Bath

Tiket Masuk ke Wat Pho : 100 Bath

Tom Yam Seafood : 190 Bath, ini termasuk salah satu makan termahal saya selama di Thailand

Tiket masuk Grand Palace : 350 Bath

Makanan halal di food court Suam lum Night Bazar : 80-100 Bath, makannnya semacam kebab-kebaban

Tiket Nonton Muay Thai : 1000 Bath

13 thoughts on “Budget Traveling at Thailand : Wisata Belanja, Wisata Budaya dan Jatuh Cinta di Bangkok (part. 3)

  1. hay, herlin ne…
    sy mahasiswa UGM kebetulan Juli nanti maw ke Bangkok buat KP (Kuliah Praktek)…
    Informasi yg diberikan sangat bermanfaat karena obyek wisata di atas juga akan kami kunjungi,,..
    Tema kita nanti perbandingan Jakarta-Bangkok dari berbagai aspek,,
    Bisa ditambahkan informasi tentang hal itu??
    Khususnya development control pariwisata Bangkok…
    Terima kasih atas infonya…

  2. hmmm saya tidak begitu mengerti tentang itu karena memang saya bukan orang yang berkecimpung di bidangnya, coba saja mbak cari sumber yang lain…

    terima kasih

  3. Seneng bgt sy bacanya..tp sayang sy mulai bc dr part 3 yg part 1 dan 2 ga.. Sy dan teman2 awal feb th ini rencananya mau ke sana, kira2 musim hujan ga ya d sana? Tk y sdh menulis acr jalan2nya..

    • part 1 dan 2 nya ada kok mbak, silahkan di cek lagi, soal musim saya kurang tau mbak, tapi emang enaknya jangan musim hujan

Leave a reply to ria Cancel reply